PPAD Prosperity— Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mendorong negara-negara rawan tsunami mempercepat terbentuknya Tsunami Ready Community. Menurutnya, langkah ini menjadi jurus jitu dalam mereduksi risiko tsunami, utamanya dalam meminimalisir jumlah korban.
Hal tersebut disampaikan Dwikorita saat menjadi pembicara dalam forum The Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP) Disaster Resilience Week and the Corresponding 8th Session of the Committee on Disaster Risk Reduction yang berlangsung baru baru ini di Bangkok. Acara ini diselenggarakan oleh ESCAP, UNESCO- Intergovernmental Oceanographic Commission (UNESCO-IOC) dan World Meteorological Organization (WMO).
“Tsunami Aceh 2004, tsunami Samoa 2009, tsunami Chili 2010, tsunami Tohoku Jepang 2011 menjadi bukti bahwa ancaman tsunami ini nyata. Negara-negara rawan tsunami perlu mempersiapkan kesiap-siagaan masyarakat di kawasan pesisir agar mereka tahu bagaimana caranya menghadapi bencana ini jika sewaktu-waktu terjadi,” ungkap Dwikorita yang hadir secara daring via Zoom.
Dwikorita yang juga menjabat sebagai Chair of Intergovernmental Coordination Group for Indian Ocean Tsunami Warning and Mitigation System (Chair ICG/IOTWMS) memaparkan bahwa Tsunami Ready Community sendiri adalah program peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi ancaman tsunami dengan berbasis pada 12 indikator terkait aspek penilaian potensi bahaya (assessment), kesiapsiagaan (preparedness) dan respon yang telah ditetapkan UNESCO-IOC. Harapannya, masyarakat senantiasa siap dan tidak gagap dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami.
Dwikorita menekankan bahwa predikat Tsunami Ready Community akan tercapai apabila semua pihak terlibat dengan berkolaborasi dan bersinergi, sehingga 12 indikator yang ditetapkan dapat dipenuhi dengan baik. Diantaranya, telah dipetakan dan didesain zona bahaya tsunami; jumlah orang berisiko di dalam zona bahaya tsunami dapat terestimasi; sumber-sumber ekonomi, infrastruktur, dan politik teridentifikasi; serta adanya peta evakuasi tsunami yang mudah dipahami.
Selain itu, Informasi tsunami termasuk rambu-rambu ditampilkan di publik; sosialisasi, kesadaran masyarakat, dan edukasi tersedia dan terdistribusi; sosialisasi atau kegiatan edukasi minimal diselenggarakan 3 kali dalam satu tahun; pelatihan bagi dan oleh Komunitas Tsunami diadakan minimal 2 tahun sekali; tersusunnya rencana kontijesi atau respon dalam kedaan darurat oleh komunitas di daerah rawan tsunami; serta terbangunnya kapasitas untuk pengelolaan operasional respons darurat saat tsunami terjadi.
Indikator lainnya, tambah Dwikorita yaitu tersedianya sarana yang memadai dan andal untuk menerima peringatan dini tsunami dari otoritas yang berwenang (dari BPBD) selama 24 jam secara tepat waktu; dan tersedianya sarana yang memadai dan andal untuk menyebarkan peringatan tsunami resmi 24 jam kepada publik setempat secara tepat waktu.
“Butuh keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat untuk mempercepat terwujudnya tsunami ready community ini. Tidak hanya pemerintah, namun juga pihak swasta, akademisi, komunitas, termasuk rekan-rekan media di dalamnya,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Dwikorita juga menyampaikan bahwa ICG/IOTWMS yang dipimpinnya telah mendukung dan berperan aktif dalam tsunami ready program yang telah diusung UNESCO-IOC, sebagai bentuk dukungan dalam mewujudkan SAFE OCEAN melalui program UN Decade on Ocean Science. Saat ini di wilayah Indian Ocean terdapat 11 komunitas, dimana 9 diantaranya berasal dari Indonesia dan 2 lainnya dari komunitas dari India, telah mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai Tsunami Ready Community.
Komunitas Desa Tanjung Benoa Bali adalah salah satu dari komunitas yang telah mendapatkan pengakuan UNESCO Tsunami Ready Community. Pengukuhan Tanjung Benoa dilaksanakan pada momen pertemuan Global Platform on Disaster Risk Reduction (GPDRR) bulan Mei 2022 lalu, sebagai promosi untuk menggencarkan kegiatan tersebut.
“Tsunami Ready tidak hanya dapat diimplementasikan di sektor pariwisata saja, namun juga di sektor infrastruktur kritis seperti bandara dan pelabuhan, dengan melibatkan pengelola dan peran aktif masyarakat dan Pemerintah Daerah setempat,” imbuhnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dwikorita juga mengungkapkan bahwa ada sejumlah kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi untuk memperkuat sistem peringatan dini dan mitigasi tsunami. Pertama, kata dia, yaitu pentingnya observasi sistematis dan pengukuran standar untuk peringatan dini. Oleh karena itu, perlu untuk mengintegrasikan semua alat seismik dan observasi ke dalam jaringan yang komprehensif.
Kedua, perlunya inovasi sains untuk mengatasi tsunami non-seismik. Ketiga, pentingnya pertukaran data antar institusi. Kejadian Tsunami di selat sunda menyoroti pentingnya memasukkan data aktivitas gunung berapi ke dalam sistem peringatan dini tsunami. Fakta bahwa gunung berapi dapat memicu tsunami, memerlukan kesiapsiagaan yang komprehensif.
Dan keempat, pentingnya kesiapan komunitas masyarakat. Untuk mempromosikan tindakan dan kesiapsiagaan dini, informasi yang komprehensif dan mudah dipahami, ditambah dengan program Pendidikan terkait bencana, sangatlah penting.***