Catatan Perjalanan Sumba Egy Massadiah Bagian 2 (selesai)
PPAD PROSPERITY, JAKARTA – Berkat ajakan Franky, Letjen Purn Dr HC Doni Monardo berkesempatan menikmati kesempurnaan Nihi Resort, Sumba. Kata menikmati di sini mesti ditambahkan arti bahwa keduanya sedang berdiskusi intens terkait “menjual” keunggulan Indonesia di sektor pariwisata. Franky adalah seorang praktisi bisnis hospitality.
Franky dan Doni saling respek satu sama lain. Dalam banyak kesempatan, utamanya ketika berbicara mengenai sektor pariwisata, keduanya adalah orang yang paling lantang menyuarakan pendapat, “jual keunggulan Indonesia, sekaligus menjaga alam”.
Keduanya saling menginspirasi.
Franky sendiri termasuk yang mengagumi Nihi. Ia bahkan sudah berinteraksi dengan Sumba sejak tahun 90-an. Sejumlah lahan yang dinilainya cocok untuk pembangunan villa pun sudah di tangan. Sayang, pembangunan infrastruktur di sana agak terhambat. Ujungnya, sarana transportasi regular belum maksimal.
“Akhirnya kami menunda pembangunan resort di Sumba dan kami alihkan ke daerah lain seperti di Bandung, Bali, dan Jawa Timur,” ujarnya.
Meski begitu, ia sudah menjalin komunikasi dengan Sumba Foundation. Sebuah yayasan yang sangat kredibel dalam mencetak SDM perhotelan. Franky bahkan sudah bertemu pendiri yayasan itu, Inge De Lathouwer, setahun sebelum dimulainya pembangunan Sumba Hotel School.
“Ketemunya di Jakarta, saat beliau mengurus perizinan ke Kemendikbud. Ide dan pelaksanaan serta manajemen Sumba Hotel School sangat baik. Mulai dari seleksi murid, kurikulum, dan belajar praktik, semua memberikan hasil yang sangat bagus,” tambah Franky.
Duet antara Inge dan Redemta dinilai sangat solid, terbukti dengan sudah banyaknya alumni Sumba Sotel School yang bekerja di berbagai hotel berbintang di Bali, Jakarta, sampai keluar negeri. “Beberapa lulusannya bahkan sudah menempati posisi cukup tinggi,” tambahnya.
Ihwal prestasi Nihi yang dua tahun berturut-turut menyabet prediket hotel/resort terbaik di dunia, dengan sendirinya telah menempatkan Pulau Sumba sebagai salah satu destinasi wisata dunia. Apa yang dijual?
Alam yang sangat indah serta budaya Sumba yang masih asli, serta banyaknya desa adat serta kepercayaan Merapu yang masih kental. “Saya berharap, kelak akan muncul Nihi-Nihi baru atau Amanresort, Alila, 6 Sense, Bulgari dan sebagainya. Biarlah Sumba menjadi destinasi premium. High yield and low destruction,” harap Franky.
Membangun resort dengan kualitas premium di lokasi yang eksotik, adalah keunggulan Indonesia. Sama seperti yang sering diungkapkan Doni Monardo, jika kita membangun hotel mewah pencakar langit, apalagi di perkotaan, sungguh “bukan Indonesia”. Indonesia harus menjual alamnya yang indah. Musim yang eksotik.
“Kalau hotel mewah, kita tidak akan bisa bersaing dengan hotel-hotel super mewah di kota-kota metropolitan dunia. Karena itu, kita harus menjual resort model Nihi. Sesuatu yang tidak dimiliki negara lain, sebab itulah keunggulan kita,” tegasnya.
Tak hanya berteori, tapi itu pula yang coba ia bangun sejak masuk dunia pariwisata dan hospitality tahun 80-an. Franky, misalnya, membangun hotel Amankila di Desa Manggis Karang Asem (1992), Chedi di Bandung (1993), Serai Manggis (1994, sekarang Alila Manggis), Chedi Ubud (1996 sekarang Alila Ubud), Alila Jakarta (2001). Lalu ia mendirikan Alila Brand tahun 2000, Alila Villas Uluwatu (2009), dan membangun hotel Dialoog Banyuwangi (2017).
Misi yang dicanangkan adalah, “Menciptakan destinasi liburan baru dengan membangun pusat-pusat life style yang berkelas seraya mempromosikan budaya dan konsep bangunan yang ramah lingkungan baik di dalam maupun luar Indonesia.”
Sedangkan visinya, “Menjadi pemimpin di industri life style melalui penggabungan konsep desain yang luar biasa, kekayaan budaya lokal dan keramahan lingkungan.”
Tunggu. Apakah Franky seorang hotelier? Awalnya bukan. Ia mendapatkan gelar sarjana di bidang Teknik Sipil dari University College London tahun 1981 dan mendapatkan gelar Master di bidang Struktur dan Pelat Baja dari Imperial College London tahun 1982.
Pria kelahiran Jakarta 26 Januari 1957, itu pada akhirnya berkecimpung di dunia pariwisata dan perhotelan. Dengan pengalaman lebih dari 20 tahun di industri hotel dan pariwisata, ia merupakan salah satu pencetus pembangunan beberapa hotel yang sangat sukses di Indonesia. Perannya dalam tim pembangunan properti Alila Villa Uluwatu, Alila Ubud, Alila Manggis, Alila Jakarta, Awanjiwo, Amankila dan Chedi Bandung sunggulah tebal.
Selain itu, Franky Tjahyadikarta dikenal sebagai salah satu pendiri GHM Indonesia dan Mandara Spa, spa pertama yang dikelola secara internasional di Indonesia. Juga mendirikan PT Bukit Uluwatu Villa Tbk (BUVA). Perusahaan ini dikenal sebagai pengembang terkemuka di Indonesia yang fokus pada hotel dan resor ramah lingkungan.
Ciri khas BUVA adalah keunggulannya dalam arsitektur bertaraf internasional. BUVA menggabungkan inovasi, rekreasi dan gaya hidup menjadi suatu pengalaman unik dan baru bagi wisatawan lokal dan manca negara yang mencari tujuan wisata yang menonjolkan keselarasan budaya dan lingkungan di tengah-tengah kemewahan, ketenangan, dan petualangan.
Dalam kapasitas itulah, ia mengenal Doni Monardo dan klop dalam pandangan ihwal pariwisata dan perhotelan Indonesia. Ditanya komentarnya tentang sosok Doni Monardo, Franky spontan mengatakan, “Saya sangat kagum dan respek dengan Pak Doni. Beliau sederhana, rendah hati tapi sangat smart, tegas dan pandai bergaul ke atas maupun ke bawah itu bisa saya lihat dalam trip-trip kami bersama selama ini.”
Ditambahkan, kecintaan dan kepedulian Doni Monardo terhadap alam, hutan, gunung, sungai, dan laut yang besar, benar-benar sangat dibutuhkan di era saat ini. “Karena itulah kami menjadi sahabat dan semoga suatu saat bisa membangun bersama-sama,” ujarnya.
Franky bahkan mengikuti sepak terjang Doni Monardo, baik semasa aktif di militer, memimpin BNPB, hingga posisi terakhir sebagai Komisaris Utama PT Mind ID dan Ketua Umum PP Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD). “Saya juga melihat jejak dan kemajuan-kemajuan yang dicapai di daerah tempat beliau bertugas. Sangat terasa perubahan dan kemajuannya. Saya istilahkan Doni’s Golden Touch,” pungkas Franky Tjahyadikarta. (*)
*) Egy Massadiah, jurnalis senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”