Oleh: Brigjen Purn. MJP Hutagaol
Sejarah menunjukkan, banyak negara dan organisasi besar tidak runtuh karena kekalahan terbuka, melainkan karena sesuatu yang lebih sunyi dan berbahaya: kelelahan jiwa organisasi. Mereka tampak kuat dari luar, tetapi kehilangan daya tahan dari dalam.
Dunia intelijen memberi cermin paling jujur tentang fenomena ini.
KGB Uni Soviet adalah contoh paling gamblang. Selama puluhan tahun, KGB menjadi mesin kontrol yang efektif—kuat, disiplin, dan ditakuti. Namun ketika Uni Soviet runtuh pada akhir 1980-an, KGB tidak mampu menyelamatkan negaranya sendiri. Bukan karena kekurangan data atau jaringan, melainkan karena ideologi kehilangan makna dan loyalitas berubah menjadi keterpaksaan. Ketika jiwa kolektif runtuh, struktur hanya memperlambat kejatuhan.¹
Bagaimana dengan lembaga intelijen yang hingga kini masih berdiri?
Mossad, intelijen luar negeri Israel, sering dipersepsikan hampir tanpa cela. Namun sejarah mencatat kegagalan yang justru memperlihatkan batas manusia di balik mesin elit. Kasus Lillehammer (1973)—salah sasaran dalam operasi pembalasan—berujung pada penangkapan agen dan krisis diplomatik.² Kegagalan ini bukan akibat kekurangan teknologi, melainkan tekanan emosional, kelelahan keputusan, dan faktor manusia. Sejak itu, Mossad justru semakin sadar bahwa musuh terbesar mereka bukan hanya lawan di luar, tetapi kelelahan batin agen di dalam.
CIA memberi pelajaran berbeda. Dengan keunggulan teknologi dan data, CIA pernah mengalami kegagalan strategis besar dalam invasi Teluk Babi (Bay of Pigs), 1961.³ Informasi tersedia, rencana matang, tetapi pembacaan realitas sosial-politik Kuba keliru. Operasi yang rasional di atas kertas runtuh di lapangan. Ini menunjukkan bahwa intelijen data tanpa pemahaman jiwa masyarakat hanya menghasilkan ilusi kontrol.
Pelajaran serupa sebenarnya sudah lama terjadi di kawasan kita. Menjelang Perang Dunia II, intelijen Jepang (Matahari Terbit) membaca Hindia Belanda bukan hanya dari kekuatan militernya, tetapi dari kelelahan sistem kolonial, jarak penguasa dengan rakyat, dan krisis kepercayaan. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, banyak wilayah jatuh tanpa perlawanan besar karena jiwa kekuasaan lama sudah rapuh.⁴ Namun keberhasilan awal itu juga berbalik menjadi kegagalan ketika represi menggantikan empati—membuktikan bahwa membaca jiwa memberi kemenangan awal, mengabaikannya menyiapkan kekalahan.
Dari Mossad, CIA, KGB, hingga Jepang, benang merahnya jelas:
perang modern dimulai jauh sebelum senjata berbunyi.
Ia dimulai di pikiran, kepercayaan, rasa keadilan, dan makna yang dirasakan manusia di dalam sebuah sistem. Ketika aparat, pegawai, atau anggota organisasi kehilangan makna, maka sistem sebesar apa pun mulai retak.
Pelajaran ini sangat relevan bagi Indonesia hari ini. Dalam konteks Operasi Militer Selain Perang (OMSP), penanganan bencana, konflik sosial, hingga krisis kepercayaan publik, tantangan terbesar sering kali bukan musuh eksternal, melainkan kelelahan internal yang tidak terbaca data. Regulasi lengkap, anggaran besar, dan teknologi modern tidak akan efektif bila manusia di dalamnya kehabisan daya jiwa.
Karena itu, selain intelijen teknologi, bangsa ini perlu menghidupkan intelijen rasa—kemampuan membaca gejala kelelahan, sinisme, dan kehilangan makna sebelum berubah menjadi krisis. Intelijen rasa tidak tertulis di dashboard digital, tetapi terasa oleh pemimpin yang matang pengalaman dan jujur pada realitas.
Kesimpulan
Pelajaran dari dunia intelijen ini tidak hanya berlaku bagi militer atau negara.
Ia relevan untuk bisnis, birokrasi, organisasi sosial, bahkan keluarga.
Perusahaan runtuh bukan hanya karena rugi, tetapi karena karyawan kehilangan makna.
Organisasi besar melemah bukan karena kurang pintar, tetapi karena lelah secara batin.
Kepemimpinan gagal bukan karena kurang data, tetapi karena abai pada rasa.
Sejarah Mossad, CIA, KGB, dan intelijen Jepang mengajarkan satu kebenaran sunyi:
yang menentukan umur panjang sebuah sistem bukan kekerasan atau kecanggihan, melainkan kemampuannya merawat jiwa manusianya.
Dan di era hari ini, perang paling menentukan adalah perang yang tidak terlihat.
Catatan Kaki
- Archie Brown, The Rise and Fall of Communism, HarperCollins.
- Aaron J. Klein, Striking Back: The 1972 Munich Olympics Massacre and Israel’s Deadly Response.
- Peter Kornbluh, Bay of Pigs Declassified, The New Press.
- George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia.

