PPAD
Berita TerkiniSerba-serbi

Mengenang 2 Tahun Almarhum Doni Monardo: Balada Nasi Padang

Catatan Egy Massadiah

***

Pengantar Redaksi

Hari ini, genap 2 tahun Letjen TNI Purn DR (HC) Doni Monardo meninggalkan kita semua (3 Desember 2023 – 3 Desember 2025). Redaksi menurunkan kembali catatan Egy Massadiah, jurnalis senior yang mendampingi almarhum sebagai Tenaga Ahli merangkap staf khusus Kepala BNPB. Ada pembelajaran bagaimana almarhum sebagai Kepala BNPB memperhatikan penanganan bencana “satu komando”. Contoh kasus bencana gempa bumi dahsyat di Mamuju. Mulai tahap tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi tertangani dengan baik. Termasuk cerita menarik, bagaimana almarhum memperhatikan aspek kebutuhan makanan yang pasti sangat dirindukan bagi siapa pun yang tinggal di lokasi pengungsian berbulan-bulan: Makanan enak. Doni tidak saja menangani bencana dengan strategi tepat dan gerak cepat, tetapi juga menangani bencana dengan hati.

***

Rasanya masih segar dalam ingatan. Hari itu, Jumat 15 Januari 2021. Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo sedia berkunjung ke Sumedang, Jawa Barat bersama sejumlah anggota DPR RI dari Komisi 8, terkait bencana longsor.

Apa daya. Mendadak ia menerima kabar gempa dahsyat yang meluluhlantakkan Mamuju, Sulawesi Barat. Tanggap akan situasi darurat, ia mengalihkan kunjungan dari Sumedang menuju Mamuju. Bukan hanya itu, sebelum bertolak, Doni masih sempat menginstruksikan staf Tanggap Darurat untuk segera menerbangkan 4 unit helikopter ke Mamuju.

Setiba di sana, miris hati melihat kondisi Mamuju dan nyaris rata tanah. Ibarat kata, tidak ada bangunan yang berdiri tegak. Jika tidak ambruk, ia miring. Kehidupan pun lumpuh. Aktivitas masyarakat terpusat pada kesibukan evakuasi bagi korban yang masih berada di reruntuhan bangunan.

Di sela-sela kesibukan mengkoordinir penanganan bencana, Doni terlintas mengenai pentingnya membuka dapur umum. Maklumlah, pasar-pasar tutup. Rumah makan tidak ada yang buka. Bahkan bangunan toko yang selamat pun tidak berani buka. Masyarakat benar-benar menderita trauma akan datangnya gempa susulan.

Atas arahan Doni, saya segera menghubungi Jony Azro, pengusaha restoran Padang yang masih terbilang kerabat. Saya pun menghubungi Jony, dan minta segera memberangkatkan tim juru masak untuk membuka dapur umum bagi kepentingan korban gempa Mamuju.

Tanggap akan pentingnya tugas kemanusiaan tersebut, Jony sigap menyatakan siap. Ia pun menutup dua restorannya yang ada di Rest Area Jalan Tol Ciakmpek KM 42 dan Km 62. Sebanyak 15 orang diminta segera bersiap-siap terbang ke Mamuju.

Bagian itu, tentu menjadi bagian penting dalam rangkaian kisah penanganan bencana alam di Mamuju. Karena itulah, sosok Jony menjadi menarik untuk kita dengar kisahnya.

Saat saya hubungi, Jony antusias menceritakan pengalamannya. “Sebanyak 15 karyawan saya minta ikut ke Mamuju. Selebihnya saya menghubungi Ikatan Keluarga Minang yang ada di Mamuju untuk siap-siap membantu,” ujar Jony.

Sadar mengenai kondisi Mamuju yang dilanda gempa bumi berkekuatan magnitudo 6,2 SR, maka Jony pun membawa semua perlengkapan memasak dan aneka bumbu dari Jakarta. “Saya membawa kompor, kuali, peralatan masak, dan aneka bumbu. Saya bahkan membawa cabai seberat 1,5 ton,” ujar Jony, tertawa.

Selain cabai, ia juga membawa kunyit, laos, dan lain-lain. “Sebelum berangkat, pak Egy juga sempat pesan 400 kilogram daging rendang. Jadi, sebelum berangkat kami masak rendang dulu. Sampai saat itu memang saya belum tahu kondisi yang sebenarrnya di sana. Pak Egy hanya bilang, ‘di sini tidak ada makanan’,” kata Jony menirukan kata-kata saya.

Tiba hari H keberangkatan, kami kumpul di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur. Ada kejadian menarik. Dari 15 anak buah yang sedia berangkat, dan sudah terdaftar dalam manifes penerbangan, satu di antaranya urung. Keluarganya tidak mengizinkan anaknya berangkat ke medan bencana. Karena itu, Jony sigap mencari pengganti.

Itu sempat menjadi masalah. Sebab, satu orang pengganti ini tidak ada dalam manifes penumpang yang sedia terbang ke Mamuju. “Petugas sambil bercanda bilang, ‘ini bukan angkot’. Tapi setelah kami jelaskan mengenai kondisi darurat, serta kami urus administrasinya, satu orang pengganti itu bisa berangkat,” ujar Jony lega.

Sebelum berangkat, ia menghubungi temannya yang ada di Makassar, dan meminta bantuan 10 tenaga. Mereka semua berasal dari Makassar, dan jumpa di Mamuju. Tiba di Mamuju sudah gelap. Malam itu juga ia menghadap Doni Monardo.

Di situlah ia baru sadar, bahwa sekalipun ini memasak untuk keperluan korban bencana, tetapi tetap dianggarkan. “Kami dialokasikan anggaran lima-belas-ribu rupiah per bungkus. Angka itu cukup, dengan catatan tidak bisa mengemasnya dalam kardus kotak, melainkan nasi bungkus. Pak Doni setuju. Saya sendiri tidak mikir untung. Yang penting bisa membantu,” katanya.

Saat itu, Jony mendapat perintah untuk menyiapkan 6.000 nasi Padang bungkus per hari. Sebanyak 2.000 bungkus di pagi hari, 2.000 bungkus siang hari, dan 2.000 bungkus untuk makan malam. Jony mengoptimalkan dana yang ada dengan menyajikan menu terbaik.

“Kalau di Jawa, benar-benar mustahil. Bayangkan, menu setiap hari itu lauknya enak-enak. Selain rendang, kadang ikan, dan kali lain udang yang besar-besar. Itu semua sangat dimungkinkan karena harga ikan dan udang di sana memang jauh lebih murah dibanding harga di Jawa,” katanya.

Foto kenangan penanganan Gempa Mamuju. Tampak (alm) Kepala BNPB Doni Monardo duduk di tenda biru (tempat menginap selama menangani gempa Mamuju), berkoordinasi dengan staf. Tampak penulis (Egy Massadiah/kaos putih) paling kanan. (foto: dokpri)

Kepala Ikan Kakap

Setiap hari, diminta-atau-tidak, Jony melapor ke Doni Monardo tentang rencana menu yang hendak dimasak. Setiap hari. Tanpa kecuali. Hingga tiba suatu hari, Doni Monardo mengajukan request khusus. Ia bertanya apakah ada kepala ikan kakap? Joni spontan menjawab, ‘Ada’.

Rupanya, Doni minta Jony dan para juru masaknya bekerja ekstra, di luar menyiapkan 6.000 nasi bungkus per hari, hari itu ketambahan tugas memasak menu spesial kepala ikan kakap. Tidak hanya seporsi, tetapi beberapa porsi.

Belakangan Jony baru tahu, rupanya Doni ingin mengirim menu spesial itu kepada sejumlah pejabat yang telah pontang-panting bekerja keras siang-malam menangani proses tanggap darurat, sementara tidak pernah “berjumpa” makanan yang enak.

Jadilah, Jony memasak kepala ikan kakap dan kemudian dikirim ke Gubernur, Wakil Guebrnur, Kapolda, Sekda, dan Danrem. “Besoknya saat jumpa di lapangan mereka berterima kasih. Katanya, ‘waduhhh kepala ikan kakapnya enak sekali. Terima kasih. Sudah lama sekali rasanya nggak makan enak. Alhamdulillah,” ujar Jony menirukan kalimat para pejabat Forkopimda Sulbar yang telah menerima kiriman menu spesial darinya.

Tak hanya itu, komplimen dari para relawan di lapangan juga ia terima. Mereka mengaku, selama jadi relawan di berbagai medan bencana, baru di Mamuju merasakan makanan enak. “Kita betul-betul menerapkan standar cita rasa rumah makan Padang ‘Sederhana’,” katanya.

Sesekali, Jony juga bertanya kepada relawan dan yang bakal menerima pasokan makan dari dapurnya, tentang keinginan dimasakkan apa. Ada yang minta ayam, bandeng, ikan, udang, dan lain-lain. “Alhamdulillah, sepanjang tersedia bahannya, kami penuhi permintaan mereka. Setidaknya, itulah yang bisa kami perbuat untuk membantu proses penanganan bencana alam di Mamuju,” ujarnya.

Doni dan Egy. (foto: dokpri)

Water Treatment

Dapur umum “restoran Padang darurat” Jony berada di halaman komplek kantor BPBD Sulbar. Satu-dua hari tidak ada persoalan. Hari ketiga mulai ada masalah, terkait pembuangan limbah dapur. Masalah bau pun muncul, disusul datangnya pasukan lalat yang tak pernah diundang.

Jony tahu betul, itu akan jadi masalah ketika Doni Monardo tahu. Jony hapal betul perangai bersih Doni Monardo. Akhirnya, Jony berinisiatif membangun instalasi pembuangan limbah. Ia mengatur water treatment. Mulailah dilakukan pemilahan sampah atau limbah dapur. Setelah itu, persoalan bau dan lalat teratasi. “Air yang keluar ke selokan sudah bersih dan tidak bau,” kata Jony senang.

Taman kantor BPBD yang sempat tergenang air limbah, kini sudah bersih dan kembali asri. Aktivitas masak-memasak juga semakin terkelola dengan baik. “Saya merekrut 15 pegawai restoran Padang di Mamuju yang menganggur karena restorannya tutup. Mereka semua perempuan, saya kerahkan untuk bagian membungkus,” tambahnya.

Bayangkan, untuk memenuhi kebutuhan 6.000 nasi bungkus per bari, ia memasak 1 ton beras, dengan enam rice cooker ukuran jumbo (kapasitas 32 liter). “Kalau rice cooker bisa ngomong, ia pasti akan bilang ‘aku lelah’,” ujar Jony sambil tertawa.

Kebutuhan sayur berupa kol, kacang panjang, daun singkong pun dipasok dari masyarakat Mamuju. “Masyarakata, utamanya petani sayur merasa terbantu sekali, karena semua sayur-mayur kami beli dengan harga pantas,” ujarnya.

Selain kewajiban memenuhi target 6.000 nasi bungkus, Jony juga kadang memasak lebih. Seperti misalnya untuk keperluan rapat di rumah dinas Gubernur (kantor gubernur luluh lantak), Jony juga menyumbang nasi box. “Pokoknya selama masa tanggap darurat, saya menyumbang tak kurang dari 1.500 porsi nasi padang,” ujar Jony.

Masa tanggap darurat 14 hari pun usai. Karena satu dan lain hal, akhirnya ditambah delapan hari lagi. Ia dan tim pun memperpanjang masa tinggal di sana untuk delapan hari ke depan. Bukan hanya menambah hari, tetapi ia juga mendapat tambahan tugas.

“Jika sebelumnya kami harus menyiapkan 6.000 bungkus, maka pada masa tambahan itu ditambah menjadi 9.000 bungkus. Masing-masing 3.000 bungkus untuk pagi, siang, dan malam,” katanya.

Mari berhitung. Untuk yang masa 14 hari, ia memasak 6.000 nasi bungkus per hari. Sedangkan yang 8 hari, ia menyiapkan 9.000 nasi bungkus per hari. Total, ia telah memasak 156.000 nasi bungkus! Itu belum termasuk 1.500 bungkus sumbangan pribadinya, serta ratusan box untuk keperluan rapat-rapat di rumah dinas Gubernur Sulbar.

Untuk itu, mau-tidak-mau, Jony harus menambah 3 rice cooker lagi. Ia menyuruh salah satu timnya ke Makassar untuk membeli tiga rice cooker besar. “Pagi berangkat, malam sudah tiba di Mamuju, dan besoknya sudah langsung kami pakai memasak,” kenangnya.

Nginap di Sultan

Pendek kisah, tugas 14 hari plus 8 hari di Mamuju pun berakhir. Kondisi Mamuju relatif tertata. Sudah mulai banyak dapur umum, terutama di lokasi-lokasi pengungsian. Para relawan yang bekerja di fase tanggap darurat, juga sudah mulai berkurang jumlahnya.

O ya, ada satu hal yang tak boleh tertinggal. Ini tentang cabai 1,5 ton yang ia bawa di awal kedatangannya dulu. Hingga hari terakhir tugas, ternyata ada sisa cabai 300 kg. “Semua sisa cabai dan bumbu-bumbu kami sumbangkan ke dapur-dapur umum dan masyarakat di Mamuju,” katanya.

Jony dan tim pun kembali ke Jakarta naik pesawat. Dari 15 anak buah, rata-rata belum pernah naik pesawat. Jadi mereka sangat senang. Hanya tiga orang yang pernah naik pesawat, ketika ia berangkatkan umrah. “Yang sudah pernah naik pesawat komentarnya, ‘kok beda rasanya’. Ya, saya jelaskan, pesawat besar dan kecil pasti beda. Kalau pesawat kecil memang lebih terasa guncangannya,” kata Jony.

Sebelum pulang, Doni Monardo sempat berpesan, sesampai Jakarta jangan langsung pulang. Ajak anak buah yang telah bekerja keras itu nginap di hotel yang bagus. Jony setuju. Ia membawa 15 anak buahnya menginap di Hotel Sultan, Jakarta. “Semua senang,” tambahnya. (*)

Related posts

BMKG Imbau Masyarakat Waspadai Peningkatan Curah Hujan Jelang Libur Natal dan Tahun Baru

admin

Daun Stevia, Pemanis Alami Pengganti Gula untuk Penderita Diabetes

admin

Catatan HUT RI ke 78 dan HUT PPAD ke 20

admin

MenkopUKM Pastikan UMKM Miliki Fondasi Kuat Kuasai Pasar Domestik dan Global

admin

Kasad: Ubah Lahan Tidur Jadi Lahan Produktif!

admin

Tingkatkan Kualitas Daging dan Susu Ternak Indonesia, Indonesia Kerjasama dengan Uruguay

admin

Leave a Comment