PPAD Prosperity— Perpaduan teknologi dan kearifan lokal (local wisdom) menjadi jurus ampuh mengatasi kesenjangan kapasitas dan ketangguhan sebuah negara dalam mengatasi krisis air akibat perubahan iklim.
Demikian disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam diskusi Forum Merdeka Barat 9 yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika, baru baru ini.
Menurutnya, saat ini terjadi kesenjangan yang lebar antara negara maju dengan negara berkembang, negara kepulauan, dan negara miskin dalam hal kapasitas sosial-ekonomi dan teknologi yang sangat berpengaruh dalam mewujudkan ketanghuhan bangsa-bangsa di negara tersebut.
Hal ini, ujarnya, berimbas pada ketangguhan suatu negara dalam beradaptasi dan memitigasi dampak perubahan iklim, terutama terkait dampak terhadap ketersediaan air, pangan dan energi.
“Indonesia sendiri relatif memiliki kemampuam teknologi yang cukup baik, ditambah berbagai kearifan lokal budaya masyarakat yang dapat menutup kesenjangan tersebut,” ungkap Dwikorita.
Dwikorita mengatakan, berdasarkan laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization – WMO), 60% kerugian bencana di negara maju terjadi akibat perubahan iklim, namun dampak terhadap produk domestik bruto (PDB) negara tersebut hanya sekitar 0,1%. Lain halnya, dengan negara berkembang, lanjut dia, dimana 7% dari bencana bisa menyebabkan hantaman kuat hingga 5-30% terhadap PDB mereka.
Sedangkan bagi negara kepulauan, 20 % dari bencana dapat berakibat kerugian hingga 50% bagi PDB mereka. Bagi beberapa negara, tambah Dwikorita, bahkan bisa mengakibatkan kerugian hingga 100% PDB. Situasi ini, kata dia, akan semakin memperparah kesenjangan ekonomi yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan dan ketangguhan masyarakat dalam beradaptasi dan memitigasi perubahan iklim.
Berdasarkan data WMO, kerugian ekonomi dunia dari kejadian ekstrem cuaca, iklim, dan air terbukti meningkat pesat. Selama periode 2010 – 2019, kerugiannya mencapai US$1.476,2 miliar. Angka tersebut melonjak signifikan dibandingkan dengan dekade 2000 – 2009 yang tercatat sebesar US$997,9 miliar. Sementara dalam kurun waktu 1990 – 1999, kerugian yang terjadi berkisar US$906,4 miliar dan dekade 1980 – 1989 hanya sebesar US$305,5 miliar.
“Negara-negara maju mungkin menganggap persoalan ini adalah persoalan sepele, namun bagi negara berkembang, kepulauan, dan miskin persoalan ini dampaknya bisa sangat parah kemana-mana karena ketidakberdayaan mereka,” imbuhnya.
Dwikorita menegaskan, kepemilikan teknologi yang mumpuni dapat meminimalisir risiko bencana akibat perubahan iklim yang dihadapi. Dicontohkan Dwikorita, bagaimana BMKG berperan sebagai penyedia informasi dan data cuaca dan iklim. Lewat data dan informasi tersebut, daerah-daerah bisa melakukan berbagai langkah pencegahan, mitigasi ataupun pengurangan risiko bencana, sebelum bencana terjadi.
Maka dari itu, Dwikorita menegaskan bahwa World Water Forum(WWF) yang akan dilangsungkan di Bali pada 18-24 Mei 2024 mendatang dapat menjadi momentum kolaborasi dalam upaya utk menutup kensenjangan antar bangsa, untuk lebih dini dalam mengantisipasi krisis iklim dan krisis air, baik secara global ataupun regional dan lokal.
Menurutnya, untuk mengantisipasi krisis air yang akan terjadi, butuh keterlibatan berbagai pihak, diantaranya Pihak Pemerintah, Akdemisi/Ilmuwan, Pihak Swasta, Masyarakat dan Media.
Dwikorita menerangkan, bahwa WWF menjadi satu-satunya forum air global terbesar di dunia yang membahas isu air global melalui 3 proses yang terintegrasi, yaitu proses tematik (berbasis sains), proses regional (yang memperhatikan berbagai faktor atau keunikan lokal dan regional), serta proses politik yang sangat penting dalam mewujudkan kebijakan publik yang mengikat secara hukum, yang ditetapkan berdasarkan input dari Proses Thematic (Science-based) dan Proses Regional.
WWF mengeksplorasi enam proses tematik penting, yakni water security and prosperity, water for human and nature, disaster risk reduction and management, governance, cooperation, and hydro-diplomacy, sustainable water finance, and knowledge and innovation.
Pada proses regional nantinya akan membahas mengenai pengelolaan air berdasarkan kebutuhan kawasan yang meliputi Mediterania, Asia Pasifik, Afrika, dan Amerika. Sedangkan pada proses politik akan berdiskusi mengenai permasalahan air global dengan para pemimpin dari berbagai level mulai dari head of states, ministerials, parliamentarians, basin authorities, hingga otoritas lokal.
“BMKG berharap, dalam forum WWF nanti, Indonesia dapat mendorong peningkatan kesetaraan, keadilan antar seluruh negara di dunia dalam menghadapi krisis akibat perubahan iklim melalui kolaborasi penguatan kapasitas berbasis sains dan teknologi yang blended atau terintegrasi dengan kearifan lokal,” pungkasnya.***